Selasa, 29 Mei 2012

PAHLAWAN



PANGLIMA BATUR

Panglima Batur (lahir di Buntok Baru, Barito Utara, Kalimantan Tengah pada tahun 1852 - meninggal di, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 5 Oktober 1905 pada umur 53 tahun) adalah seorang panglima suku Dayak Bakumpa dalam Perang Banjar yang berlangsung di pedalaman Barito, sering disebut Perang Barito, sebagai kelanjutan dari Perang Banjar. Panglima Batur adalah salah seorang Panglima yang setia pada Sultan Muhammad Seman. Panglima Batur seorang Panglima dari suku Dayak yang telah beragama Islam berasal dari daerah Buntok Kecil, 40 Km di udik Muara Teweh.
Gelar Panglima khusus untuk daerah suku-suku Dayak pada masa itu menunjukkan pangkat dengan tugas sebagai kepala yang mengatur keamanan dan mempunyai pasukan sebagai anak buahnya. Seorang panglima adalah orang yang paling pemberani, cerdik, berpengaruh dan biasanya kebal.
Panglima Batur yang bersama Sultan mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat Panglima Batur mendapat perintah untuk pergi ke Kesultanan Pasir untuk memperoleh mesiu, saat itulah benteng Manawing mendapat serangan Belanda. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan marsose yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing pada Januari 1905. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa.
Tertegun dan dengan rasa sedih yang mendalam ketika Panglima Batur kembali ke benteng Manawing yang musnah, dan Sultan Muhammad Seman, pimpinannya telah tewas. Panglima Batur dan teman seperjuangannya Panglima Umbung pulau ke kampung halaman mereka masing-masing. Panglima Umbung kembali ke Buntok Kecil. Sultan Muhammad di Seman di makamkan di puncak gunung di Puruk Cahu.
Kini Panglima Baturlah satu-satunya pimpinan perjuangan yang masih bertahan. Ia terkenal sangat teguh dengan pendiriannya dan sangat patuh dengan sumpah yang telah diucapkannya, tetapi ia mudah terharu dan sedih jika melihat anak buahnya atau keluarganya yang jatuh menderita. Hal itu diketahui oleh Belanda kelemahan yang menjadi sifat Panglima Batur, dan kelemahan inilah yang dijadikan alat untuk menjebaknya. Ketika terjadi upacara adat perkawinan kemenakannya di kampung Lemo, dimana seluruh anggota keluarga Panglima Batur terkumpul, saat itulah serdadu Belanda mengadakan penangkapan. Pasangan mempelai yang sedang bertanding juga ditangkap dimasukkan ke dalam tahanan, dipukuli dan disiksa tanpa perikemanusiaan. Cara inilah yang dipakai Belanda untuk menjebak Panglima Batur.
Dengan perantaraan Haji Kuwit salah seorang saudara sepupu Panglima Batur Belanda berusaha menangkapnya. Atas suruhan Belanda, Haji Kuwit mengatakan bahwa apabila Panglima Batur bersedia keluar dari persembunyian dan bersedia berunding dengan Belanda, barulah tahanan yang terdiri dari keluarganya dikeluarkan dan dibebaskan, dan sebaliknya apabila Panglima tetap berkeras kepala, tahanan tersebut akan ditembak mati. Hati Panglima Batur menjadi gundah dan dia sadar bahwa apabila dia bertekad lebih baik dia yang menjadi korban sendirian dari pada keluarganya yang tidak berdosa ikut menanggungnya. Dengan diiringi orang-orang tua dan orang sekampungnya Panglima Batur berangkat ke Muara Teweh. Sesampainya di sana bukan perundingan yang didapatkan tetapi ia ditangkap sebagai tawanan dan selanjutnya dihadapkan di meja pengadilan. Ini terjadi pada tanggal 24 Agustus 1905. Setelah dua minggu ditawan di Muara Teweh, Panglima Batur diangkut dengan kapal ke Banjarmasin.
Di kota Banjarmasin, dia diarak keliling kota dengan pemberitahuan bahwa inilah pemberontak yang keras kepala dan akan dijatuhkan hukuman mati. Pada tanggal 15 September 1905 Panglima Batur dinaikkan ke tiang gantungan. Permintaan terakhir yang diucapkannya dia minta dibacakan Dua Kalimah Syahadat untuknya. Dia dimakamkan di belakang masjid Jami Banjarmasin, tetapi sejak 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks Makam Pahlawan Banjar.
TUMENGGUNG SURAPATI
Tumenggung Surapat (Belanda:Tomongong Suro-patty) atau Kiai Dipati Jaya Raja, kemudian bergelar Pangeran Dipati (lahir : Kalimantan Tengah, wafat : 1875, Kalimantan Tengah) adalah seorang kepala suku Dayak yang menjadi panglima perang dalam Perang Barito yang merupakan bagian dari Perang Banjar. Perang Banjar berlangsung dalam tiga wilayah yaitu Martapura dan sekitarnya, wilayah Banua Lima (Hulu Sungai) dan wilayah sepanjang sungai Barito (Tanah Dusun). Tumenggung Surapati setia kepada kepemimpinan Pangeran Antasari selaku pemimpin tertinggi di Kesultanan Banjar pasca ditangkapnya Pangeran Hidayatullah yang kemudian diasingkan ke Cianjur. Tumenggung Surapati anak dari Ngabe Lada bin Ngabe Tuha (wakil Sultan Banjar di kalangan suku Bakumpai). Ngabe (ngabehi) adalah salah satu gelar pejabat kepala wilayah di kesultanan Banjar. Ngabe Tuha mungkin salah seorang anak dari Patih Darta Suta. Menurut suatu riwayat Patih Darta Suta memiliki lima orang anak yaitu Ngabe Tuha, Ngabe Tumpang, Ngabe Basirun, Ngabe Basunga, dan seorang anak perempuan bernama Jimah. Setelah wafatnya Tumenggung Surapati karena sakit, perjuangannya diteruskan oleh anaknya yaitu Tumenggung Jidan. Seorang cucu perempuan dari Pangeran Antasari menikah dengan Tumenggung Jidan sehingga ia kemudian mendapat gelar Raden Dipati Mangku Negara.

Mendirikan Pagustian

Setelah Pangeran Antasari meninggal, perjuangan dilanjutkan dengan pimpinan Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari dibantu Anak-anak Tumenggung Surapati dan pimpinan lainnya. Mereka membangun sebuah Pagustian atau pemerintahan terdiri dari gusti-gusti yang terletak di Gunung Bondang, sebelah udik sungai Lawung, Puruk Cahu. Pagustian ini dibantu oleh Gusti Mat Said, Raden Mas Natawijaya, Muhammad Nasir dan lainnya. Dua tahun berturut-turut yaitu tahun 1864 dan 1865 Tumenggung Surapati menyerang benteng Belanda di Muara Teweh sehingga seluruh isi benteng itu musnah. Begitu pula Benteng Belanda di Muara Montalat dihancurkan oleh suatu serangan Tumenggung Surapati. Untuk menghadapi serangan Tumenggung Surapati ini Belanda bersama orang Dayak Sihong (suku Maanyan) yang selama ini membantu Belanda di bawah pimpinan kepala sukunya Suta Ono dan di sisi ([suku dayak ngaju]) kepala sukunya adalah Temanggung Nikodemus Ambo Jaya Negara membantu Belanda memadamkan perlawanan temanggung surapati. Karena jasa-jasanya terhadap Belanda Suta Ono diberi pangkat Overste (Letnan Kolonel) dan diberi penghormatan bintang Singa Belanda adalah pengahargaan tertinggi atas keberanian. Dayak Sihong ini terkenal pemberani, dan tetap memiliki ketetapan hati kepada agama leluhur yang dianutnya yaitu Kaharingan. Tumenggung Surapati dalam perlawanannya selalu berpindah-pindah dan selama bertahun-tahun dia bertempur melawan Belanda di sepanjang Sungai Barito. Kadang-kadang dia muncul di hilir Barito di sekitar Distrik Bakumpai, tetapi sebentar lagi ada di hulu Barito di sekitar Manawing, sehingga sangat membingungkan pihak Belanda. Berbagai muslihat dilakukan pihak Belanda untuk menangkap Tumenggung Surapati hidup atau mati, tetapi selalu gagal. Pertempuran dan perjuangan yang bertahun-tahun melawan Belanda melemahkan fisiknya yang memang sudah tua dan akhirnya jatuh sakit, meskipun semangat juangnya tidak pernah mundur. Setelah menderita sakit yang agak lama pada tahun 1875 Tumenggung Surapati meninggal dunia sebagai pahlawan, meninggal karena sakit. Tumenggung Ajidan putera Tumenggung Surapati meneruskan perjuangan ayahnya bersama-sama Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari. Kalau keluarga Sultan Muhammad Seman yang tertangkap dibuang ke Bogor (Jawa Barat) maka keluarga Tumenggung Surapati yang tertangkap dibuang ke Bengkulu, Sumatera

Sabtu, 26 Mei 2012

KRONIK TERBENTUKNYA KABUPATEN BARITO UTARA

 

KRONIK TERBENTUKNYA KABUPATEN BARITO UTARA

Beberapa catatan/data ringkas yang bersumber dari pihak Belanda antar lain dari BOSHRIJVING VAN   ZUID Borneo (1838), Kronik van Banjarmasin (disertasi 1828), Banjarmasin on de Compagnie   disertasi 1931), Banjarmasinsche krijg 1859-1863 dan kroniek der Zuider en Ooosteragdeeling van Borneo (karangan Einsnburger 1936 dan lain-lain. 
1365 M Nama Barito sebagai nama suatu sungai besar yang dimaksudkan pula sebagai nama kawasan Barito terdapat dalam Naskah NEGARAKERTAGAMA, karangan Pujangga PRAPANCA dari Majapahit.  
1400 M Hikayat Banjar yang naskahnya terdapat dalam Perpustakaan British Museum of London ada menyebutkan mengenai rakyat dari beberapa daerah di Kalimantan termasuk kawasan Barito turut menyampaikan Selamat kepada Pangeran SURYANATA dari Majapahit selaku Raja Banjar yang pertama. 
1526M Hikayat Banjar menurut PATIH BANDAR MASIH di Banjarmasin menyampaikan pengumuman keberbagai daerah termasuk kawasan Barito dan tentang Pangeran Samudra yang telah berhasil menjadi Raja Banjar. 
1590M Peter Vantimaglia, seorang Rohaniawan Portugis di Banjarmasin. Setahun kemudian beliau mudik Sungai Barito menuju tanah Dusun dalam rangka mengembangkan agama Kristen. Setelah mengunjungi 15 bh kampung, tepatnya di Muara Montallat tidak terdengar lagi beritanya. 
1792M Pelda Hartman mendapat perintah melakukan ekspedisi ke tanah Dusun. Disekitar Muara Teweh di Lewu Tanjung Layen terjadi perkelahian dengan rakyat, Hartman dengan 4 orang anggotanya gugur. 1798M Dengan Staatregeling tahun 1798 sebutan VOC dihapuskan. 
1825M Perlawanan Pembekal Kendet di Marabahan (Perang Pelukan), perlawanan dapat dipatahkan Belanda, sejak itu Marabahan dan tanah usun dimasukkan langsung ke bawah Pemerintahan Belanja, benteng Marabahan didirikan. 
1845M Penentuan batas kerajaan Banjar, Marabahan, Tanah Dusun dan Tanah Dayak (Kapuas) dimasukkan kedalam Murung gebied (wilayah murung) dengan Kepala Pemerintahannya adalah Komandan Benteng Marabahan. 
1859M Perang Banjar. Pada tanggal 26 Desember 1859 kapal perang ONRUST dengan setengah Kompi Marinir dibawah pimpinan Kapteng Van der Velde dan 42 orang awak kapal dibinasakan pejuang rakyat di Lewu LUTUNG TUWUR disebelah hilir Muara Teweh termasuk Lettu Bangaert (Komandan Benteng Marabahan). 
1860M Pada tanggal 9 Februari 1860 serdadu Belanda mengadakan serangan balasan atas tenggelamnya kapal perang ONRUST. Luntung Tuwur digempur dengan meriam dan dibumi hanguskan 4 (empat) orang pejuang yang masih bertahan disanan gugur. 
- 12-10-1949 MN 1001 MTKI dpb.Mayor Koestam Alwi. 
- 01-11-1949 Terbentuknya Divisi Lambung Mangkurat/TNI-AD dibawah pimpinan Letkol Hasan Basri 
- 13-12-1949 GRRI dpb.Letda P.K.Sawong. 
27-12-1949 Terbentuknya TTK (Tentara dan Teritorium Kalimantan) dibawah pimpinan Panglima Letkol Soekanda Bratamenggala, terbagi dalam 4 STM (Sub Teritorium Kalimantan). STM I di Daerah Banjar dan Kalikmantan Tenggara, STM II meliputi kawasan Dayak Besar dan Kotawaringin Timur dan STM III meliputi Kalimantan Timur dan STM IV wilayah Kalimantan Barat.STM I dibawah pimpinan Letkol.Hasan Basri 
STM II dibawah pimpinan Kapten Moelyono 
Pada tanggal 22-02-1949 serangan Belanda diulangi dengan tambahan beberapa buah kapal perang lagi dan 2 kompi KNIL. Kapal perang Belanda bernama SURINAME mengalami kerusakan berat, ketelnya pecah kena tembakan meriam, 70 awak kapal gugur. Dipihak pejuang rakyat gugur 4 (empat) orang yaitu : 
Sang Ali, seorang perantauan asal Aceh yang melarikan diri. 
Ngarayan Yakamal Gst.Djamal Batu Kamal 
Pertempuran dibawah pimpinan langsung oleh Pangeran Antasari dibantu oleh Tumenggung Surapati, Tumenggung Marta Lahew seorang Srikandi Barito dan Tumenggung Roepa. 11-06-1860 Kerajaan Banjar dihapuskan dan dimasukkan kedalam kekuasaan Belanda. 1861M Tanggal 21 Mei 1861 s.d. 1 Juni 1861 pertempuran di Gunung Tongka dalam Sungai Montallat, 4 Kompi Tentara Belanda hancur, tidak terhitung yang gugur ditempat-tempatm pencegatan yang dinamakan Parabah di Tanjung Ruang, antara Desa Rarawa dan Desa Malungai di Ingai dan Santalar. 
Selanjutnya dalam Seminar hari jadi kota Muara Teweh disepakati menetapkan tanggal 27 Juli 1792 sebagai Hari Jadi Kota Muara Teweh.  

Sejarah Singkat Kabupaten Barito Utara 


Berdasarkan Peraturan Swapraja Tahun 1938, maka pada tanggal 27 Desember 1946 Pemerintah NICA di Banjarmasin membentuk sebuah badan bernama Dayak Besar, dengan wilayah kekuasaan meliputi Kapuas Barito.

Namun, sebenarnya upaya Belanda tersebut tidak lebih sebagai niat busuk untuk menancapkan kembali kuku jajahannya di Indonesia, yakni dengan cara memecah belah negara kesatuan menjadi negara bagian. Tetapi, jida n semangat rakyat Kalimantan yang pada saat itu tetap setiap pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemudian atas desakan seluruh rakyat, pada tanggal 14 April 1949, maka Dewan Dayak Besar mengeluarkan pernyataan secara resmi meleburkan diri kedalam negara Kesatuan RI. Tindakan tegas Dewan Dayak Besar itu kemudian diikuti pula oleh negara-negara bagian lainnya di Kalimantan. 

Secara bertahap, dalam upaya menetapkan status secara de facto dan de jure, atas wilayah bekas negara-negara bagian buatan Belanda ke dalam wilayah hukum Pemerintah RI, maka Presiden RI mengeluarkan Surat Keputusan pada tanggal 14 April 1950, No.133/S/9 tentang Penetapan Pengahapusan status Daerah Banjar, Daerah Dayak Besar, Daerah Kalimantan Tenggara sebagai negara bagian RIS, dan langsung masuk kedalam wilayah Pemerintah RI, yang saat itu berkedudukan di Yogyakarta. 

Guna menetapkan status dan pembagian wilayah, dari bekas negara-negara bagian tersebut, maka Mendagri RI berdasarkan UU No.22 Tahun 1946, melalui SK pada 29 Juni 1950 No.0.17/15/3, menetapkan daerah-daerah di Kalimantan yang sudah bergabung dalam wilayah RI, yang terbagi atas 5 ( lima) wilayah Kabupaten, yaitu : 
- Kabupaten Banjar berkedudukan di Martapura 
- Kabupaten Hulu Sungai berkedudukan di Kandangan 
- Kabupaten Kotabaru berkedudukan di Kotabaru 
- Kabupaten Barito berkedudukan di Muara Teweh 
- Kabupaten Kotawaringin Timur berkedudukan di Sampit 

Selain 5 ( lima) Kabupaten tersebut, Pemerintah RI juga menetapkan wilayah daerah swapraja yaitu Swapraja Kutai, Berau dan Bulungan, yang masing-masing berkedudukan di Samarinda, Berau dan Bulungan. Untuk melaksanakan ketetapan tersebut Gubernur Kalimantan pada tanggal 3 Agustus 1950 menmgeluarkan SK No.154/OPB/92/04, yang mkerupakan dasar bagi daerah untuk melaksanakan SK Mendagri dimaksud. Sejak itu, lahirlah Kabupaten Barito dengan wilayah meliputi kewedanaan Barito Hulu, Barito Tengah dan Kewedanaan Barito Timur yang berkedudukan di Muara Teweh. 

Dalam Perkembangan berikutnya, lahirlah UU Darurat No.3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Otonomi Kabupaten / Daerah Istimewa Tingkat Kabupaten/Kota Besar dalam lingkungan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah. Berdasarkan UU Darurat inilah, untuk pertama kalinya diadakan penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom. 

Dalam kontek kembalinya wilayah-wilayah tersebut, kedalam pangkuan negara Kesatuan RI yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka melalui SK Mendagri RI pada 27 April 1951 dengan No.115/7/4/28, diangkatkan George Obos sebagai Bupati Kabupaten Barito. Sementara C.Luran akhirnya terpilih sebagai Ketua DPRD Kabupaten Barito yang pertama. 
6 (enam) tahun kemudian lahirlah UU No.27 Tahun 1959 tentang Penetapan UU Darurat No.3 Tahun 1953 menjadi UU tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan. Sebagai realisasi dari UU itu, maka pada 1960 Kabupaten Barito dibagi menjadi 2 (dua) Kabupaten, yakni Kabupaten Barito Utara ibukotanya di Muara Teweh dan Kabupaten Barito Selatan ibukotanya di Buntok. Berdasarkan kajian sejarah tersebut, maka ditetapkanlah hari jadi Kabupaten Barito Utara yakni pada tanggal 29 Juni 1950 ditandai dengan keluarnya Keputusan Mendagri No.C.17/15/3 tanggal 29 Juni 1950 tentang Pembentukan Daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri. Hari jadi Kabupaten Barito Utara tanggal 29 Juni 1950 tersebut disetujui DPRD Kabupaten Barito Utara melalui SK tanggal 9 Nopember 1985 No.55/SK-DPRD/1985 dan Keputusan Bupati Barito Utara tanggal 10 Pebruari 1986 No.74 Tahun 1986. Dengan demikian pada 29 Juni 2005 ini Kabupaten Barito Utara sudah memasuki usia yang ke-55 tahun.
 Pada awalnya, wilayah Kabupaten Dati II Barito Utara sebagai daerah otonom membawahi wilayah kabupaten administrasi Murung Raya, dengan ibukotanya di Puruk Cahu. Dalam Struktur Pemerintahan, Kabupaten Administrasi Murung Raya mengkoordinir 5 (lima) Kecamatan yang terletak dibagian utara sungai barito, meliputi Kecamatan Murung, Sumber Barito, Tanah Siang, Laung Tuhup, Permata Intan. 

Selanjutnya, menyesuaikan dengan keberaan UU No.5 Tahun 1974, tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, maka sejak tahun 1982 Kabupaten Administrastif Murung Raya diubah statusnya menjadi Kantor Pembantu Bupati Wilayah Murung Raya dengan ibukota tetap di Puruk Cahu. Siiring perkembangan wilayah, khususnya dalam kaitan perkembangan pemerintahan, dan pembangunan, maka wilayah Kabupaten Barito Utara dengan 1 (satu) wilayah Pembantu Bupati dan 11 (sebelas) Kecamatan, yaitu wilayah Pembantu Bupati yaitu Kecamatan Murung, Laung Tuhup, Tanah Siang, Sumber Barito, Permata Intan, Kecamatan Teweh Tengah, Montallat, Gunung Timang, Lahei, Teweh Timur dan Gunung Purei. Pada saat itu wilayah Kabupaten Barito Utara masih sangat luas, yakni mencakup wilayah seluas 32.000 KM 2, terluas ketiga setelah Kotawaringin Timur dan Kabupaten Kapuas.
Setelah adanya pemekaran Kabupaten pada Tahun 2002, Wilayah Pembantu Bupati Barito Utara Wilayah Murung Raya menjadi Kabupaten Murung Raya dengan Ibukota Puruk Cahu, maka Kabupaten Barito Utara mempunyai luas wilayah +/- 8.300 Km2, dengan 6 Kecamatan yakni Kecamatan Teweh Tengah, Montallat, Gunung Timang, Teweh Timur, Gunung Purei dan Lahei. 
Nama - nama Kepala Daerah yang pernah menjabat di Kabupaten Barito Utara, sejak 1951 sampai sekarang, adalah : 
- Georger Obos (1951-1954) 
- Barnstein Baboe (1954-1956) 
- M.Saleh (1956-1956) 
- Sepener Botor (1956-1957) 
- M.Dirham (1958-1959) 
- Samsi Silam (1959-1966) 
- H.Abdul Moehir (1966-1969) 
- Yetro Sinseng (1969-1977) 
- Drs. E.Hosang (1977-1988) 
- Drs. H.A.Dj.Nihin (1988-1998) 
- Ir. H.Badaruddin (1998-2003) 
- Ir.H.Acmhad Yuliansyah, MM (2003-sekarang) 

Asal Nama Muara Teweh

Yang perlu dijelaskan lebih jauh di sini adalah bagaimana asal muasal nama Muara Teweh itu sendiri. Secara harfiah, Tumbang berarti Muara dan Tiwei Artinya mudik dan juga identik dengan nama ikan kecil Seluang Tiwei, yang biasanya selalu mudik ke sungai Barito setiap tahun. Sebagaimana artinya, Tiwei yang berati mudik, maka Sungai Tiwei yang bermuara di Sungai Barito, arusnya mudik melawan arus Sungai Barito dan kemudian baru balik mengikuti arus ke selatan.

Penyebutan Tumbang Tiwei yang kemudian menjadi Muara Teweh terjadi karena pola sebutan penyeragaman kota se Kalimantan Tengah oleh Belanda pada saat itu. Seperti halnya Tumbang Kapuas disebut Kuala Kapuas, Tumbang Kurun disebut Kuala Kurun, Tumbang Pembuang disebut Kuala Pembuang dan Tumbang Montallat disebut Muara Montallat, dan lain-lain. 

Dari persfektif rumpun bahasa Dusun Barito, maka asal nama kota Tumbang Tiwei yang kemudian berubah menjadi Muara Teweh, dapat disimpulkan sebagai berikut: 
Dalam kumunitas Suku Bayan Dusun Pepas, disebut Nangei Tiwei (Nangei=Tumbang, Muara; Tiwei=Ikan Seluang Tiwei). 
Pada komunikasi Suku Bayan Bintang Ninggi, disebut Nangei Musini (Nangei Musini=Muara Musini). 
Pada Komunitas Suku Dusun Taboyan Malawaken, disebut Ulung Tiwei (Ulung Tiwei= Muara Tiwei, di mana Ulung Tiwei ini merupakan rumpun bahasa sebelah Timur/Mahakam. Misalnya, Ulung Ngiram disingkat Long Ngiram, jadi Ulung Tiwei disingkat Long Tiwei). 
Pada komunitas Dusun Bakumpai/Kapuas, disebutkan Tumbang Tiwei (Tumbang Tiwei= Muara Tiwei, yang kemudian oleh kolonial Belanda dimelayukan menjadi Muara Teweh).
Lebih Jauh, penyebutan nama kota Muara Teweh yang berasal dari kata Tumbang Tiwei tersebut tampaknya sejalan adanya suku-suku Dusun Barito Utara, seperti dikutip dari buku Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan, karya Tjilik Riwut (Mantan Gubernur Kalimantan Tengah). 
Demikianlah, asal-usul nama kota Muara teweh dan jenis Suku Dusun Barito Utara. Kendatipun sama Dusunnya dan sama Dayaknya, akan tetapi Belanda malah membedakan sebutan Suku Dusun Barito dan Suku Dusun Kapuas-Kahayan. Suku Dusun Barito yang berdiam di Tanah Dusun (Doesen Landen), disebutnya Dusun Barito, Sedangkan Suku Dusun yang berdiam di Kapuas -Kahayan, disebutnya Dayak Kapuas Kahayan. Tak jelas, apa makna dan tendensi dari penyebutan mana yang berbeda tersebut. 
Pada masa lalu, banyak rumah betang sebagai tempat tinggal komunitas penduduk Barito Utara. Diantaranya rumah betang Lebo Lalatung Tour, Pendreh, Bintang Ninggi, Lemo, Lebo Tanjung Layen, Butong, Lanjas, Nihan, Papar Pujung dan Konut Tanah Siang (Mukeri Inas, et.al ;2004). 

Rumah Betang dan komunitas penduduk yang menjadi dasar cikal-bakal bagi komunitas Muara Teweh, yakni Juking Hara dan Tanjung Layen dengan beberapa ciri pertanda peninggalan sejarahnya masing-masing. Juking Hara dan daerah sekitarnya adalah tempat dikuburkannya Tumenggung Mangkusari, tempat peristiwa Bukit Bendera dan Kuburan Belanda serta tempat didirikannya benteng belanda untuk pertama kalinya Tahun 1865. Sedangkan Lebo Tanjung Layen (Lebo Tanjung Kupang) tempat kedudukan kota Muara Teweh sekarang, yakni di sekitar Masjid Jami Muara Teweh, dengan sungai Kupang yaitu sungai yang membelah Simpang Merdeka dan Simpang Perwira yang ada hingga saat 

sumber : www.baritoutarakab.go.id



Minggu, 20 Mei 2012

Sabtu, 19 Mei 2012

PERKEBUNAN



Kebun Karet

Kebun Karet
Pohon Kayu Damar
Perkebunan Kepala Sawit
Perkebunan Kepala Sawit

Jumat, 18 Mei 2012

SUMBER DAYA ALAM



Kabupaten Barito Utara kaya dengan Sumber Daya Alam antara lain batubara, emas, minyak bumi, gas alam dan juga uranium.
Tambang Batu Bara
Pelabuhan pengapalan batubara

Stockfile batubara
Pencari eman tradional

Pencari emas tradisional

Emas batang

Pengapalan Gas Alam Cair

Tambang Uranium (di Barito Utara masih belum bisa di tambang )

Tambang minyak (Barito Utara juga punya tambang minyak bumi )

Selain hasil tambang kabupaten Barito utara juga masih menghasilkan LOA (kayu hutan alam) dan damar.


Pohon damar
LOA

LOA

Kayu Siap dimilirkan

damar
Damar

Kamis, 17 Mei 2012

BUAH BUAHAN

Musim buah di Muara Teweh biasa pada Desember sampai bulan Februari, ada berbagai jenis buah yang dijual. Buah - buahan ini dihasilkan dari kebun masyarakat sekitarnya.
Buah Durian

Buah Cempedak

Buah Kapul

Buah Papuan

Buah Kuwini

Buah Lahung

Buah Mata kucing (tangkuhis)

Buah Papaken

Buah rotan

Buah Rambutan

Buah Manggis

Buah maritam (ada beberpa jenis buah maritam ini)
buah dangu

Buah asam putar

Buah tarap

Buah katungen
Ini namanya buah Bangkinang
Buah untit


Ada banyak lagi jenis buah - buahan hutan yang bisa dapat kalau musim buah di Muara Teweh, namun data saya masih kurang nanti akan saya tambahkan lagi menunggu musim buah tahun depan.