PANGLIMA BATUR |
Panglima Batur (lahir di Buntok Baru, Barito Utara, Kalimantan Tengah pada tahun 1852 - meninggal di, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 5 Oktober 1905 pada umur 53 tahun) adalah seorang panglima suku Dayak Bakumpa dalam Perang Banjar yang berlangsung di pedalaman Barito, sering disebut Perang Barito, sebagai kelanjutan dari Perang Banjar.
Panglima Batur adalah salah seorang Panglima yang setia pada Sultan
Muhammad Seman. Panglima Batur seorang Panglima dari suku Dayak yang
telah beragama Islam berasal dari daerah Buntok Kecil, 40 Km di udik Muara Teweh.
Gelar
Panglima khusus untuk daerah suku-suku Dayak pada masa itu menunjukkan
pangkat dengan tugas sebagai kepala yang mengatur keamanan dan mempunyai
pasukan sebagai anak buahnya. Seorang panglima adalah orang yang paling
pemberani, cerdik, berpengaruh dan biasanya kebal.
Panglima Batur yang bersama Sultan mempertahankan benteng terakhir di
Sungai Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat
Panglima Batur mendapat perintah untuk pergi ke Kesultanan Pasir untuk memperoleh mesiu, saat itulah benteng Manawing mendapat serangan Belanda. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan marsose yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing pada Januari 1905.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak
dapat bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa.
Tertegun dan dengan rasa sedih yang mendalam ketika Panglima Batur
kembali ke benteng Manawing yang musnah, dan Sultan Muhammad Seman,
pimpinannya telah tewas. Panglima Batur dan teman seperjuangannya Panglima Umbung
pulau ke kampung halaman mereka masing-masing. Panglima Umbung kembali
ke Buntok Kecil. Sultan Muhammad di Seman di makamkan di puncak gunung
di Puruk Cahu.
Kini Panglima Baturlah satu-satunya pimpinan perjuangan yang masih
bertahan. Ia terkenal sangat teguh dengan pendiriannya dan sangat patuh
dengan sumpah
yang telah diucapkannya, tetapi ia mudah terharu dan sedih jika melihat
anak buahnya atau keluarganya yang jatuh menderita. Hal itu diketahui
oleh Belanda kelemahan yang menjadi sifat Panglima Batur, dan kelemahan inilah yang dijadikan alat untuk menjebaknya. Ketika terjadi upacara adat perkawinan kemenakannya di kampung Lemo, dimana seluruh anggota keluarga
Panglima Batur terkumpul, saat itulah serdadu Belanda mengadakan
penangkapan. Pasangan mempelai yang sedang bertanding juga ditangkap
dimasukkan ke dalam tahanan, dipukuli dan disiksa tanpa perikemanusiaan.
Cara inilah yang dipakai Belanda untuk menjebak Panglima Batur.
Dengan perantaraan Haji Kuwit salah seorang saudara sepupu Panglima Batur Belanda berusaha menangkapnya. Atas suruhan Belanda, Haji
Kuwit mengatakan bahwa apabila Panglima Batur bersedia keluar dari
persembunyian dan bersedia berunding dengan Belanda, barulah tahanan yang terdiri dari keluarganya dikeluarkan dan dibebaskan, dan sebaliknya apabila Panglima tetap berkeras kepala, tahanan tersebut akan ditembak mati. Hati Panglima Batur menjadi gundah dan dia sadar bahwa apabila dia bertekad lebih baik dia yang menjadi korban sendirian dari pada keluarganya yang tidak berdosa ikut menanggungnya. Dengan diiringi orang-orang tua dan orang sekampungnya Panglima Batur berangkat ke Muara Teweh. Sesampainya di sana bukan perundingan yang didapatkan tetapi ia ditangkap sebagai tawanan dan selanjutnya dihadapkan di meja pengadilan. Ini terjadi pada tanggal 24 Agustus 1905. Setelah dua minggu ditawan di Muara Teweh, Panglima Batur diangkut dengan kapal ke Banjarmasin.
Di kota Banjarmasin, dia diarak keliling kota dengan pemberitahuan bahwa inilah pemberontak yang keras kepala dan akan dijatuhkan hukuman mati. Pada tanggal 15 September 1905 Panglima Batur dinaikkan ke tiang gantungan. Permintaan terakhir yang diucapkannya dia minta dibacakan Dua Kalimah Syahadat untuknya. Dia dimakamkan di belakang masjid Jami Banjarmasin, tetapi sejak 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks Makam Pahlawan Banjar.
TUMENGGUNG SURAPATI |
Tumenggung Surapat (Belanda:Tomongong Suro-patty) atau Kiai Dipati Jaya Raja, kemudian bergelar Pangeran Dipati (lahir : Kalimantan Tengah, wafat : 1875, Kalimantan Tengah) adalah seorang kepala suku Dayak yang menjadi panglima perang dalam Perang Barito yang merupakan bagian dari Perang Banjar. Perang Banjar berlangsung dalam tiga wilayah yaitu Martapura dan sekitarnya, wilayah Banua Lima (Hulu Sungai) dan wilayah sepanjang sungai Barito (Tanah Dusun). Tumenggung Surapati setia kepada kepemimpinan Pangeran Antasari selaku pemimpin tertinggi di Kesultanan Banjar pasca ditangkapnya Pangeran Hidayatullah yang kemudian diasingkan ke Cianjur. Tumenggung Surapati anak dari Ngabe Lada bin Ngabe Tuha (wakil Sultan Banjar di kalangan suku Bakumpai). Ngabe (ngabehi) adalah salah satu gelar pejabat kepala wilayah di kesultanan Banjar.
Ngabe Tuha mungkin salah seorang anak dari Patih Darta Suta. Menurut
suatu riwayat Patih Darta Suta memiliki lima orang anak yaitu Ngabe
Tuha, Ngabe Tumpang, Ngabe Basirun, Ngabe Basunga, dan seorang anak
perempuan bernama Jimah. Setelah wafatnya Tumenggung Surapati karena
sakit, perjuangannya diteruskan oleh anaknya yaitu Tumenggung Jidan. Seorang cucu perempuan dari Pangeran Antasari menikah dengan Tumenggung Jidan sehingga ia kemudian mendapat gelar Raden Dipati Mangku Negara.
Mendirikan Pagustian
Setelah Pangeran Antasari meninggal, perjuangan dilanjutkan dengan pimpinan Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari dibantu Anak-anak Tumenggung Surapati dan pimpinan lainnya. Mereka membangun sebuah Pagustian atau pemerintahan terdiri dari gusti-gusti yang terletak di Gunung Bondang, sebelah udik sungai Lawung, Puruk Cahu. Pagustian ini dibantu oleh Gusti Mat Said, Raden Mas Natawijaya, Muhammad Nasir dan lainnya. Dua tahun berturut-turut yaitu tahun 1864 dan 1865 Tumenggung Surapati menyerang benteng Belanda di Muara Teweh sehingga seluruh isi benteng itu musnah. Begitu pula Benteng Belanda di Muara Montalat dihancurkan
oleh suatu serangan Tumenggung Surapati. Untuk menghadapi serangan
Tumenggung Surapati ini Belanda bersama orang Dayak Sihong (suku Maanyan) yang selama ini membantu Belanda di bawah pimpinan kepala sukunya Suta Ono dan di sisi
([suku dayak ngaju]) kepala sukunya adalah Temanggung Nikodemus Ambo
Jaya Negara membantu Belanda memadamkan perlawanan temanggung surapati.
Karena jasa-jasanya terhadap Belanda Suta Ono diberi pangkat Overste (Letnan Kolonel) dan diberi penghormatan bintang Singa Belanda adalah pengahargaan tertinggi atas keberanian. Dayak Sihong ini terkenal pemberani, dan tetap memiliki ketetapan hati kepada agama leluhur yang dianutnya yaitu Kaharingan. Tumenggung Surapati dalam perlawanannya selalu berpindah-pindah dan selama bertahun-tahun dia bertempur melawan Belanda di sepanjang Sungai Barito. Kadang-kadang dia muncul di hilir Barito di sekitar Distrik Bakumpai, tetapi sebentar lagi ada di hulu Barito di sekitar Manawing, sehingga sangat membingungkan pihak Belanda. Berbagai muslihat dilakukan
pihak Belanda untuk menangkap Tumenggung Surapati hidup atau mati,
tetapi selalu gagal. Pertempuran dan perjuangan yang bertahun-tahun
melawan Belanda melemahkan fisiknya yang memang sudah tua dan akhirnya
jatuh sakit, meskipun semangat juangnya tidak pernah mundur. Setelah
menderita sakit yang agak lama pada tahun 1875 Tumenggung Surapati meninggal dunia sebagai pahlawan,
meninggal karena sakit. Tumenggung Ajidan putera Tumenggung Surapati
meneruskan perjuangan ayahnya bersama-sama Sultan Muhammad Seman bin
Pangeran Antasari. Kalau keluarga Sultan Muhammad Seman yang tertangkap dibuang ke Bogor (Jawa Barat) maka keluarga Tumenggung Surapati yang tertangkap dibuang ke Bengkulu, Sumatera